saya tergelitik nulis soal jadi inem karena melihat status teman (di Facebook) yang mengeluhkan kerjaan rumah tangga yang menumpuk dan dia bingung mau mulai dari mana.. masalahnya baju kotor menumpuk, cucian bersih menunggu disetrika, piring2 kotor di kitchen sink, sampah yang belum dibuang..
nah, kawan2 dari teman saya ini memberikan komen yang bernada sama, menyamakan si teman saya dengan INEM.. "nasib.....nasib jadi inem ya wkwkwkkkk"; "Jauh2 ke LN eh ending sama aja jdi INEM wkwkwk pisss bu"; "sama dong kita jeng...turun pangkat..".. hanya saya dan satu orang lagi yang benar2 "menjawab" status teman saya itu..
saya yang biasa memberikan komentar sesuai status ya menulis : "nyucinya pake mesin cuci kan, jeng? sortir aja dulu berdasarkan warna, baru masuk mesin cuci, yg hrs di handwash ya direndam dulu.. trus ditinggal cuci piring, baru buang sampah.. kalo dah kelar bisa mulai nyicil setrikaan.. kelar satu batch cucian, masukin pengering (ato jemur), masukin batch kedua, lanjut setrika lagi.. beres deh.." karena memang itu yang akan saya lakukan kalau saya di posisinya..
teman saya (dan saya) ini sedang bernasib sama, yaitu jadi perempuan yang ikut suami tinggal di luar indonesia, mengurus rumah tangga, suami dan satu anak. tanpa adanya asisten rumah tangga, yang jadi hal umum di rumah tangga indonesia. jadi saya menganggap diri saya dan teman saya itu kurang lebih ada kesamaan, makanya saya jadi tergelitik karena teman saya disebut INEM, yang biasa digunakan untuk menggantikan kata pembantu..
sedari saya kecil, saya melihat figur ibu rumah tangga dari orang terdekat yaitu ibu saya yang saya panggil mami. mami adalah wanita karir yang melepas pekerjaannya di jakarta setelah melahirkan kakak saya. tapi mami tidak suka berpangku tangan di rumah, selain mengurus rumah, mami juga aktif di perkumpulan istri prajurit, hal itu terus berlanjut hingga saya lahir disusul adik saya enam tahun kemudian.
gaji papi sebagai prajurit TNI bisa dibilang cukup lah untuk menghidupi keluarga kecilnya dan mengirim uang ke kampung. mami pintar mengelola uang dari papi sehingga kami mendapatkan hal-hal terbaik (menurut saya ya) seperti pendidikan, makanan, liburan dsb. kehidupan kami nggak mewah, tapi super menyenangkan buat saya.
dirumah kami, kadang ada pembantu, kadang juga nihil. oleh karena itu mami mengajarkan kami bahwa pembantu itu sesuai dengan artinya, adalah orang yang dipekerjakan untuk membantu, dan dirumah kami artinya orang itu membantu kami dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga, bukan jadi budak yang disuruh mengerjakan semua2nya. karena mami punya sifat perfeksionis jadi biasanya semua2 ingin dikerjakan sendiri, tapi saya melihat mami masih mengerjakan berbagai pekerjaan rumah tangga dibantu "asisten"nya, atau kadang sesekali terjadi pendelegasian tugas. si mbak pembantu ini lebih ke arah penjaga rumah dan telepon juga pengawas anak2 kalau ditinggal mami papi beraktivitas di luar rumah.
akhirnya, saya juga terbiasa mengerjakan hal2 macam menyapu, mengepel, membersihkan pajangan2 mami, mencuci piring. bahkan saat saya kuliah dan tinggal sendiri di kota makassar, saya benar2 mandiri mengerjakan pekerjaan rumah tangga termasuk mencuci pakaian hingga mencuci mobil sendiri. dan setelah saya pikir2, yang diajarkan mami mirip2 sama ajaran orang barat terhadap anak2nya, mandiri dan tidak bergantung pada orang lain.
kebiasaan bergantung pada pembantu itu berefek buruk. coba saja dengar cerita teman2 yang biasa mempekerjakan pembantu, saat ditinggal mudik (orang tua si pembantu sakit/ada hajatan/liburan hari raya) pasti semua jadi berkeluh kesah ini itu, adapun yang memakai pembantu infal tetap mengeluhkan si mbak yang tidak secekatan pembantu aslinya padahal sudah membayar 2 atau 3 kali lipat lebih mahal.
waktu saya dan abenk masih di sorowako dan sudah dapat rumah, saya merasakan berumah tangga betulan karena harus mencuci baju/menyetrika, membersihkan rumah, berbelanja ke pasar, memasak dan mencuci piring semua dilakukan sendiri, kadang2 juga dibantu suami tercinta. pernah lho beberapa kali pintu rumah saya diketuk oleh ibu2 pencari pekerjaan, mereka menawarkan jadi pembantu setengah hari dengan tugas mencuci, menyetrika, memasak dan mungkin banyak pekerjaan lainnya tapi langsung saya tolak karena saya mampu mengerjakan semuanya. ya iya lah, wong saya cuma berdua sama abenk karena noelle masih di dalam perut.
bahkan saat noelle lahir di jakarta, kebetulan dirumah mami sedang tidak punya pembantu fulltime, tapi kita punya mbak yang mencuci dan menyetrika, dan dia "berbaik" hati memasak juga, mengambil alih kerjaan mami yang terkena stroke sejak januari 2008 lalu. saya ikut membantu membersihkan kamar saya sekalian lantai atas, dan kadang2 mencuci piring (noelle lahir di masa natal, jadi banyak tamu yang memang natalan sekalian menjenguk bayi), sementara abenk bertanggungjawab mencuci pakaian si kecil. untungnya abenk juga sedar kecil dididik jadi orang yang tidak berpangku tangan di rumah, jadi saya terbantu sekali :)
menurut saya, ada pembantu hayu, tidak ada pembantu ya tidak masalah. mengerjakan pekerjaan rumah tangga dengan dua tangan sendiri itu bukan sesuatu yang hina, justru mulia dan penghematan besar2an. lagipula mbak inem itu kan memang trend abad 20, coba deh di runut dari jaman nenek moyang, semua mengerjakan segala sesuatunya sendiri kecuali keluarga kerajaan yang punya dayang2 dan bibi emban.
saya bangga jadi ibu rumah tangga yang bisa mengerjakan segala sesuatunya sendirian, apalagi saya ada sedikit sifat perfeksionis, ingin serba ideal dan sesuai keinginan saya. saya lebih salut lagi sama ibu2 yang punya anak lebih dari satu, tetapi tetap jadi pekerja kantoran, dan masih bisa mengurus suami, anak dan pekerjaan dengan baik tanpa bantuan asisten rumah tangga.
menurut saya, semuanya kembali ke time management. kalau kita bijak mengatur waktu dan berusaha untuk tidak menunda2 pekerjaan yang ada, maka semuanya bisa kita kerjakan. saya sedang berusaha seperti itu dalam mengurus rumah selama 24jam. kalau si nonik tidur, saya berusaha menyedot debu di ruangan keluarga, atau membersihkan sayuran yang akan dimasak, atau membumbui daging/ayam yang akan dimasak hari itu. bila selesai mencuci, sebisa mungkin pakaian yang masih hangat dari mesin pengering/jemuran segera dilipat (khusus baju2 rumah) sedangkan baju kerja abenk ya digantung dulu untuk mencegah kusut, atau disetrika bila masih ada waktu. demikian juga waktu santai di malam hari, sembari menonton televisi kadang saya masak lauk untuk besok (sambel goreng/teri kacang/ayam suwir) supaya pagi tidak bangun dan kerja tergopoh2.
uhm, apalagi ya? intinya saya menikmati hidup jadi mami mami, dan mudah2an teman2 yang sedang dalam kondisi mirip saya, juga tetap menikmati jadi mami mami. sehari2 mengurus anak, suami dan rumah, diselingi kegiatan dengan mami mami lain seperti makan siang/shopping/nyalon/spa/arisan/you name it bersama-sama.. dengan catatan kerjaan rumah sudah beres supaya selama jalan2 tidak kepikiran rumah berantakan dan menu makan malam yang belum terwujud.. :)
nah, kawan2 dari teman saya ini memberikan komen yang bernada sama, menyamakan si teman saya dengan INEM.. "nasib.....nasib jadi inem ya wkwkwkkkk"; "Jauh2 ke LN eh ending sama aja jdi INEM wkwkwk pisss bu"; "sama dong kita jeng...turun pangkat..".. hanya saya dan satu orang lagi yang benar2 "menjawab" status teman saya itu..
saya yang biasa memberikan komentar sesuai status ya menulis : "nyucinya pake mesin cuci kan, jeng? sortir aja dulu berdasarkan warna, baru masuk mesin cuci, yg hrs di handwash ya direndam dulu.. trus ditinggal cuci piring, baru buang sampah.. kalo dah kelar bisa mulai nyicil setrikaan.. kelar satu batch cucian, masukin pengering (ato jemur), masukin batch kedua, lanjut setrika lagi.. beres deh.." karena memang itu yang akan saya lakukan kalau saya di posisinya..
teman saya (dan saya) ini sedang bernasib sama, yaitu jadi perempuan yang ikut suami tinggal di luar indonesia, mengurus rumah tangga, suami dan satu anak. tanpa adanya asisten rumah tangga, yang jadi hal umum di rumah tangga indonesia. jadi saya menganggap diri saya dan teman saya itu kurang lebih ada kesamaan, makanya saya jadi tergelitik karena teman saya disebut INEM, yang biasa digunakan untuk menggantikan kata pembantu..
sedari saya kecil, saya melihat figur ibu rumah tangga dari orang terdekat yaitu ibu saya yang saya panggil mami. mami adalah wanita karir yang melepas pekerjaannya di jakarta setelah melahirkan kakak saya. tapi mami tidak suka berpangku tangan di rumah, selain mengurus rumah, mami juga aktif di perkumpulan istri prajurit, hal itu terus berlanjut hingga saya lahir disusul adik saya enam tahun kemudian.
gaji papi sebagai prajurit TNI bisa dibilang cukup lah untuk menghidupi keluarga kecilnya dan mengirim uang ke kampung. mami pintar mengelola uang dari papi sehingga kami mendapatkan hal-hal terbaik (menurut saya ya) seperti pendidikan, makanan, liburan dsb. kehidupan kami nggak mewah, tapi super menyenangkan buat saya.
dirumah kami, kadang ada pembantu, kadang juga nihil. oleh karena itu mami mengajarkan kami bahwa pembantu itu sesuai dengan artinya, adalah orang yang dipekerjakan untuk membantu, dan dirumah kami artinya orang itu membantu kami dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga, bukan jadi budak yang disuruh mengerjakan semua2nya. karena mami punya sifat perfeksionis jadi biasanya semua2 ingin dikerjakan sendiri, tapi saya melihat mami masih mengerjakan berbagai pekerjaan rumah tangga dibantu "asisten"nya, atau kadang sesekali terjadi pendelegasian tugas. si mbak pembantu ini lebih ke arah penjaga rumah dan telepon juga pengawas anak2 kalau ditinggal mami papi beraktivitas di luar rumah.
akhirnya, saya juga terbiasa mengerjakan hal2 macam menyapu, mengepel, membersihkan pajangan2 mami, mencuci piring. bahkan saat saya kuliah dan tinggal sendiri di kota makassar, saya benar2 mandiri mengerjakan pekerjaan rumah tangga termasuk mencuci pakaian hingga mencuci mobil sendiri. dan setelah saya pikir2, yang diajarkan mami mirip2 sama ajaran orang barat terhadap anak2nya, mandiri dan tidak bergantung pada orang lain.
kebiasaan bergantung pada pembantu itu berefek buruk. coba saja dengar cerita teman2 yang biasa mempekerjakan pembantu, saat ditinggal mudik (orang tua si pembantu sakit/ada hajatan/liburan hari raya) pasti semua jadi berkeluh kesah ini itu, adapun yang memakai pembantu infal tetap mengeluhkan si mbak yang tidak secekatan pembantu aslinya padahal sudah membayar 2 atau 3 kali lipat lebih mahal.
waktu saya dan abenk masih di sorowako dan sudah dapat rumah, saya merasakan berumah tangga betulan karena harus mencuci baju/menyetrika, membersihkan rumah, berbelanja ke pasar, memasak dan mencuci piring semua dilakukan sendiri, kadang2 juga dibantu suami tercinta. pernah lho beberapa kali pintu rumah saya diketuk oleh ibu2 pencari pekerjaan, mereka menawarkan jadi pembantu setengah hari dengan tugas mencuci, menyetrika, memasak dan mungkin banyak pekerjaan lainnya tapi langsung saya tolak karena saya mampu mengerjakan semuanya. ya iya lah, wong saya cuma berdua sama abenk karena noelle masih di dalam perut.
bahkan saat noelle lahir di jakarta, kebetulan dirumah mami sedang tidak punya pembantu fulltime, tapi kita punya mbak yang mencuci dan menyetrika, dan dia "berbaik" hati memasak juga, mengambil alih kerjaan mami yang terkena stroke sejak januari 2008 lalu. saya ikut membantu membersihkan kamar saya sekalian lantai atas, dan kadang2 mencuci piring (noelle lahir di masa natal, jadi banyak tamu yang memang natalan sekalian menjenguk bayi), sementara abenk bertanggungjawab mencuci pakaian si kecil. untungnya abenk juga sedar kecil dididik jadi orang yang tidak berpangku tangan di rumah, jadi saya terbantu sekali :)
menurut saya, ada pembantu hayu, tidak ada pembantu ya tidak masalah. mengerjakan pekerjaan rumah tangga dengan dua tangan sendiri itu bukan sesuatu yang hina, justru mulia dan penghematan besar2an. lagipula mbak inem itu kan memang trend abad 20, coba deh di runut dari jaman nenek moyang, semua mengerjakan segala sesuatunya sendiri kecuali keluarga kerajaan yang punya dayang2 dan bibi emban.
saya bangga jadi ibu rumah tangga yang bisa mengerjakan segala sesuatunya sendirian, apalagi saya ada sedikit sifat perfeksionis, ingin serba ideal dan sesuai keinginan saya. saya lebih salut lagi sama ibu2 yang punya anak lebih dari satu, tetapi tetap jadi pekerja kantoran, dan masih bisa mengurus suami, anak dan pekerjaan dengan baik tanpa bantuan asisten rumah tangga.
menurut saya, semuanya kembali ke time management. kalau kita bijak mengatur waktu dan berusaha untuk tidak menunda2 pekerjaan yang ada, maka semuanya bisa kita kerjakan. saya sedang berusaha seperti itu dalam mengurus rumah selama 24jam. kalau si nonik tidur, saya berusaha menyedot debu di ruangan keluarga, atau membersihkan sayuran yang akan dimasak, atau membumbui daging/ayam yang akan dimasak hari itu. bila selesai mencuci, sebisa mungkin pakaian yang masih hangat dari mesin pengering/jemuran segera dilipat (khusus baju2 rumah) sedangkan baju kerja abenk ya digantung dulu untuk mencegah kusut, atau disetrika bila masih ada waktu. demikian juga waktu santai di malam hari, sembari menonton televisi kadang saya masak lauk untuk besok (sambel goreng/teri kacang/ayam suwir) supaya pagi tidak bangun dan kerja tergopoh2.
uhm, apalagi ya? intinya saya menikmati hidup jadi mami mami, dan mudah2an teman2 yang sedang dalam kondisi mirip saya, juga tetap menikmati jadi mami mami. sehari2 mengurus anak, suami dan rumah, diselingi kegiatan dengan mami mami lain seperti makan siang/shopping/nyalon/spa/
No comments:
Post a Comment