07 Juli 2007, pukul 10.00, Saya dan Abenk meneguhkan janji nikah di hadapan Tuhan, keluarga dan jemaat gereja. Kami berjanji untuk saling mencintai, saling setia, saling menghormati, saling mengasihi dalam suka maupun duka, saat berkekurangan maupun saat berkelimpahan, saat sehat maupun sakit, sampai maut memisahkan kami.
Kami merumuskan janji itu bersama-sama, dan sepakat untuk mengucapkan janji itu tanpa membaca teks supaya bisa menatap mata pasangan saat mengikat janji. Semalaman saya berusaha menghapalkan janji nikah kami itu, sambil meresapi artinya baik-baik. Kayaknya sih mudah, tapi makna dan tanggungjawabnya besar sekali.
Janji nikah terucap dengan lancar, cincin tersemat di jari manis kami, pagi itu resmi lah kami menjadi suami dan istri, dan mulai menjalani kehidupan rumah tangga baru. Awalnya masih diisi tawa dan canda, ini lebih ke arah "lega" karena segala tetek bengek pesta perkawinan telah dilalui.
Mau tau kekonyolan kami sebagai pengantin baru? Keep reading, then.
Usai pemberkatan nikah di Gereja Fransiskus Xaverius Tanjung Priok, kami menyapa kerabat dan kolega yang telah menyempatkan hadir menjadi saksi pernikahan kami. Kebetulan tanggal yang kami pilih termasuk tanggal cantik (07-07-2007) jadi banyak yang mendapat undangan ganda di pagi, siang hingga malam hari, sehingga mereka harus memilih datang di acara pemberkatan/akad keluarga A agar bisa hadir di resepsi keluarga B pada malam harinya. Gereja kami pun tercatat melangsungkan 3 pernikahan padai hari itu.
Kami tak bisa berlama-lama ngobrol rupanya karena pasangan calon mempelai yang akan diberkati pada misa pukul 12 telah tiba, jadi mereka butuh tempat untuk memarkir kendaraan di area gereja, demikian pula dengan undangan mereka.
Akhirnya rombongan kami bergegas meninggalkan gereja dan menuju rumah orangtua saya di Pondok Gede untuk beristirahat agar segar menghadapi resepsi perayaan di malam harinya. Kami memasuki jalan tol dalam kota yang padat merayap, ditambah gerimis di bulan Juli, suasana jadi syahdu. Saya berkendara dalam mobil pengantin bersama suami saya, dan Mel, my maid of honor.
Gerimis selalu membuat saya merasa agak romantis (nggak jelas juga kenapa), jadi senyam senyum menatap suami (baru?) sambil ngobrol bertiga. Menjelang perempatan Cempaka Putih, tiba-tiba saya punya perasaan nggak enak, saya tanya, "Kayaknya ada yang kelupaan deh." Abenk, saya dan sahabat saya pun berpikir keras, tapi nggak ada yang ingat walau sudah berpikir keras.
Tiba-tiba saya nepok jidat sendiri, "Abenk, kita belum Catatan Sipil!" Struktur kalimat saya selalu kacau saat saya panik. OMG, 30 menit sudah kami bermacet-macetan, mudah-mudahan petugas dari Kantor Catatan Sipil-nya belum melarikan diri karena kalau iya, ini jadi kasus!!!! Kami sama aja nikah siri dong! "Pak supir, ayo balik ke gereja, blom Catatan Sipil nih".. Tiga ponsel langsung sibuk menghubungi rombongan yang lain, ada yang sudah bermacet-macetan di tol seperti kami, tapi ada juga yang masih di gereja. Untungnya saat kami tiba di gereja lagi, ibu petugas Catatan Sipilnya masih ada, semua rombongan keluarga juga hadir dan menjadi saksi pencatatan pernikahan kami oleh petugas pemerintah.
Tuh, di jam-jam awal berumah tangga kami sudah ada cobaan kan? Disitu kami belajar saling memaafkan, memaafkan ke-pelupa-an kami berdua, memaafkan pilihan kami berdua untuk nggak pakai event organiser, memaafkan pihak lain yang nggak mengingatkan soal catatan sipil kepada kami. Untungnya semua berakhir dengan baik, tidak ada yang tersakiti, dan justru jadi bahan candaan di keluarga kami. Cerita konyol lupa catatan sipil itu, juga kisah kasih kami di sekolah *Uhuk! Uhuk!! * akan jadi warisan cerita untuk anak cucu kami, dan maunya sih lebih banyak kisah konyol-menyenangkan kami dibanding cerita susah-sedihnya supaya pendengar nggak jadi depresi.
Ya, tawa, canda dan kekonyolan memang lumayan mendominasi hubungan kami. Mudah-mudahan nggak ada lah cerita airmata dan darah seperti yang sering ada di sinetron-sinetron Indonesia itu. *Amin*
Seiring dengan berjalannya waktu, mulailah kelihatan aslinya si pasangan. Walaupun kami telah mengenal satu sama lain sejak 24 tahun silam (tahun 1987, SD kelas II) , dan merasa tahu semuanya tentang si dia, tentu saja ada hal-hal dan kebiasaan menarik yang baru "ketahuan" setelah tinggal bersama selama 24/7. Ada yang menyenangkan, ada juga yang intolerable.
Kebersamaan juga membuat perubahan dalam managemen pertengkaran kami. Saat pacaran/bertunangan, kami berhubungan AKAP (Antar Kota Antar Pulau) karena saya di Jakarta, Abenk di Sorowako, jadi kebanyakan pergombalan maupun perdebatan terjadi di telepon. Kami sudah belajar untuk menarik nafas dan menarik diri dari perdebatan sengit supaya tidak sampai emosi dan mengeluarkan kata-kata yang mungkin menyakiti hati pasangan, dan peredaman itu mudah sekali dilakukan bila kebetulan bertengkar lewat telpon.
Lain cerita saat kami bisa berdebat sambil berhadap-hadapan. Baik saya maupun suami, sudah pernah kedapatan menaikkan suara 3 oktaf saat perdebatan mulai memanas! Ha! Untungnya setelah menarik nafas, emosi bisa direda dan berdebat sehatnya bisa dilanjutkan lagi.
Menyatukan dua individu dari latar belakang yang berbeda itu tidak mudah, butuh proses panjang dan saya rasa pasangan yang sudah puluhan tahun menikah pun masih melalui proses itu. Proses belajar dan membimbing satu sama lain meniti hidup bahagia di dunia untuk nantinya mendapat kebahagiaan surgawi.
Pada Natal 2008, Tuhan menambah kebahagiaan keluarga kami dengan memberi hadiah bayi kecil yang kami namai Noelle. Kehadirannya membuat pelajaran kehidupan kami bertambah lagi mata kuliahnya, "Menjadi OrangTua".
Tiga bulan kemudian, kami hijrah ke Negeri kangguru, mencoba peruntungan di negeri orang, mata kuliah kami bertambah lagi, "Menjadi Pendatang di Negeri Asing".
Kami mencoba menjalani dan menikmati semua mata kuliah itu sebaik mungkin, walaupun kebat-kebit takut nggak lulus. Silang jari, kami bisa lulus lah. Wong menjalaninya dengan enjoy, banyak tanya sana sini (mencontek di Universitas Kehidupan itu sangat diperbolehkan), banyak lihat maupun baca ini itu.
Empat tahun saya menjalani kehidupan pernikahan, saat menulis note ini saya senyum-senyum sendiri. Dulu saya melihat diri saya bukan tipe menikah karena saya merasa sebagai orang yang super egois bin semaunya sendiri, nggak sudi saya mendahulukan kepentingan orang lain, ada waiting list-nya. Tapi cinta (mungkin juga tumbuhnya kedewasaan pribadi saya) membuat saya bisa belajar meredam keegoisan saya, membagi diri saya untuk keluarga besar, suami, anak dan lingkungan sosial.
Empat tahun bukan apa-apa dibanding pasangan lain yang telah merayakan ulang tahun perak ataupun peringatan emas. Masih banyak problematika rumah tangga yang belum pernah kami alami, walaupun doa kami setiap hari minta yang enak-enak sama Tuhan. Tapi kami yakin, kalaupun kami mendapat cobaan, itu adalah tempaan agar kami makin kuat. Berdoa, tetap berusaha dan bersyukur adalah salah satu kunci menjalani kehidupan ini.
Empat tahun saya memegang teguh janji nikah kami, mudah-mudahan benar saya bisa menjaga komitmen itu sampai maut memisahkan kami. Bukan karena takut/nggak enak sama suami, tapi saya takut sama Tuhan kalau sampai mengingkarinya. Tanggung jawab janji nikah itu besar, kawan.
Menurut saya, pernikahan bukanlah hanya semata-mata mencintai dengan menggebu-gebu, namun menjaga api cinta itu agar tidak redup dan tetap menyala di tengah-tengah hubungan bersama pasangan dan dalam keluarga. Itu dapat dilakukan dengan kesadaran penuh bahwa kami telah berjanji di hadapan Tuhan, untuk selalu bersama dalam keadaan apapun dan akan selalu mengasihi di sepanjang hidup kami. Dengan dasar KASIH, saya yakin Tuhan akan selalu menyertai perjalanan pernikahan kami.
***************
Bapa,
Kami sekeluarga berkumpul di hadapan-Mu untuk membaharui penyerahan seluruh keluarga kami kepadaMu. Terimakasih atas penyertaan-Mu selama ini. Kami mohon tetap tinggallah di dalam rumah kami ini, dan kuasailah kami. Semoga rumah kami merupakan pusat kehidupan Kristiani, di mana kami mengasihi Allah Bapa dan sesama dengan segenap hati.
Ya, Yesus Kristus, bimbinglah kami agar hidup menurut pedoman Injil-Mu, rukun, bijaksana, sederhana, dengan sayang menyayangi, hormat-menghormati, tolong-menolong dengan sukahati. Berilah supaya keramahan dan cinta kasih, semangat pengorbanan, kerajinan, dan penghasilan yang cukup selalu berada dalam keluarga kami. Semoga keluarga kami menjadi garam serta terang bagi keluarga-keluarga di sekitar kami. Berkatilah kami agar janganlah seorang diantara kami menjauh dari pada-Mu, satu-satunya sumber kebahagiaan kami.
Bapa di surga, tolonglah keluarga kami, supaya saling membantu dalam pekerjaan, saling menghibur dalam kesusahan, dan saling menguatkan dalam penderitaan, sehingga kami semua tetap bersatu-padu, rukun, dan setia satu sama lain.
Allah Bapa, Engkau tahu bahwa kami sangat menyayangi anak kami dan berusaha sungguh-sungguh membahagiakan dia, sebab memang itulah tanggungjawab kami. Kami mohon, ya Bapa, lindungilah anak kami, jagalah kesehatannya, dan lindungilah dia dari segala macam kuasa gelap, sakit dan marabahaya. Bimbinglah kami agar dapat mendidik dia sesuai ajaran-Mu.
Tak lupa juga kami mendoakan orangtua dan keluarga besar kami di Jakarta, kiranya Engkau juga senantiasa menjaga dan melindungi mereka, Tuhan. Bimbinglah mereka dalam pergumulan sehari-harinya, dalam pekerjaan, sekolah maupun kehidupan keluarga. Jauhkan mereka dari hal-hal buruk, berikanlah kesembuhan bagi mereka yang sedang sakit dan menderita.
Berkatilah kami, ya Allah, Engkau fondasi kuat bagi pernikahan, rumah tangga dan keluarga kami. Ingatkanlah kami agar tak jemu-jemu belajar mencipta kebahagiaan bersama. Tolonglah kami agar selalu mau saling mendengar, percaya dan meneguhkan. Bantu kami saling mengenal dan memahami secara mendalam, belajar mencintai dengan rendah hati dan lemah lembut, dan belajar menjadi setia seperti Kristus.
Terimakasih Bapa.
Amen.
Perth, 07.07.2011
01.03 AM